SIM RS, Pasar Yang Mulai Beranjak Dewasa
Pada tahun 2005 sampai dengan awal tahun 2006, pihak rumah sakit sempat dibuat bingung ketika mereka hendak memilih vendor atau penyedia SIM RS yang sesuai dengan harapan mereka. Saat itu memang rumah sakit - rumah sakit di Indonesia sudah mulai mengerti akan manfaat SIM RS dan mereka berniat memanfaatkan SIM RS untuk membantu kinerja mereka. Hanya saja sayangnya keinginan dari rumah sakit - rumah sakit tersebut terganjal dengan masih carut-marutnya pasar penyedia sim rs di Indonesia. Akibatnya, tidak sedikit rumah sakit yang memilih membeli sim rs dari luar negeri dan akibat jangka panjangnya ada sedikit rasa under estimate dari rumah sakit - rumah sakit di Indonesia terhadap karya anak bangsa.
Berdasarkan fakta yang telah terjadi selama ini, wajar saja jika para rumah sakit di Indonesia under estimate terhadap para penyedia sim rs di Indonesia, mengapa?
1. Banyak sekali para penyedia SIM RS yang menganut asas hit n run. Asas ini maksudnya adalah, vendor datang menawarkan sim rs dan ketika rumah sakit tertarik dan sudah teken kontrak, maka vendor ini akan memberikan pelatihan "secukupnya" dan ketika pembayaran telah dilunasi, vendor ini tidak memberikan purna jual yang memuaskan. Padahal ketika kita bicara sim rs sebagai solusi maka asas hit n run ini bisa dibilang "haram" di pasar sim rs level corporate yang cenderung bermain di level services bukan di level product selling ataupun mass production.
2. Banyak sekali penyedia sim rs yang belum mengenal segmen dari bidang usaha mereka. Hal ini terlihat ketika sebuah rumah sakit membutuhkan sebuah produk berkualitas, dimana ketika kita berbicara kualitas maka konsekuensinya adalah services dan harga yang sepadan, ada saja penyedia sim rs yang masih menawarkan mass production dan dengan harga yang sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak penyedia sim rs yang belum mengetahui dengan jelas di segmen mana mereka berada.
3. Banyak sekali penyedia sim rs yang merasa bahwa sim rs adalah pekerjaan IT, sehingga mereka membangun sim rs tanpa adanya konsultan. Hal ini terlihat jelas dari produk sim rs yang ditawarkan dimana pada saat perancangan, penyedia sim rs hanya melihat kebutuhan saat ini, sehingga ketika sim rs tersebut digunakan oleh sebuah rumah sakit, sim rs tersebut mengalami kesulitan untuk dikembangkan. akibatnya pihak rumah sakit harus bersusah payah ketika kebutuhan akan pengembangan sim rs terjadi.
Ketiga contoh di atas hanya segelintir dari banyak kasus kegagalan implementasi sim rs yang akhirnya berita tersebut tersebar dari mulut ke mulut dan akhirnya menimbulkan rasa under estimate rumah sakit - rumah sakit di Indonesia terhadap karya anak bangsa.
Tetapi syukurlah, di akhir tahun 2006 ini, hal itu sekarang sudah mulai berkurang seiring dengan bermunculannya penyedia sim rs yang benar-benar setia pada segmennya. Semua kejadian tersebut boleh dibilang merupakan circle of life dari pasar sim rs di Indonesia yang pada tahun 2005 masih merupakan barang kebutuhan baru bagi sebuah rumah sakit di Indonesia.
Biasanya, circle of life ini akan diakhiri dengan dewasanya pasar dari produk tersebut yang ditandai dengan terpetakannya dengan jelas pasar penyedia barang, seperti yang mulai terlihat pada akhir tahun 2006 ini pada pasar penyedia sim rs di Indonesia.
Semoga semakin banyak rumah sakit di Indonesia yang belajar dari kejadian-kejadian tersebut dan tidak merasa under estimate terhadap karya anak bangsa ini, tetapi tentu saja disertai dengan pengetahuan yang cukup untuk menguasai pasar penyedia sim rs sehingga bisa memilah-milah mana penyedia sim rs yang sesuai dengan kebutuhan. Jika butuh harga murah, jangan mencari penyedia sim rs yang bersegmen corporate. Sebaliknya jika membutuhkan kualitas, jangan mau terjebak iming-iming penawaran berharga rendah, seperti pepatah jawa bilang, "Ono rego ono rupo" (ada harga ada rupa/kualitas).
No comments:
Post a Comment